Minggu, 04 Oktober 2009

Hati Kotor harus dibersihkan

Hati Kotor Cenderung Mengikuti Syaithon
Oct 5, '07 2:29 AM
for everyone
KH. M. Aly Bahruddin
Mursyid TQN Pasuruan Jawa Timur

Konon, para ulama dan kiai di masa lalu (salaf) bersikap waro’, sangat berhati-hati terhadap harta, sandang, pakaian, apalagi makanan yang tidak jelas status kehalalannya. Mereka tidak serta-merta memanfaatkan atau memakannya. Jelas-jelas menghindari terhadap apa-apa yang syubhat (tidak jelas halal haramnya). Sehingga mereka memiliki hati yang bersih dan jernih, yang mengantarkan kedekatannya kepada Allah swt. Ditambah dengan ilmu agama yang dalam menjadikan para ulama dan kiai tersebut memiliki karomah, khikmah, wibawa, kekuatan spiritual yang dahsyat, kedigdayaan dan kesaktian yang tangguh, serta doanya mudah dikabulkan oleh Yang Maha Esa.

Maka tidak heran, jika di masa perjuangan kemerdekaan para ulama dan kiai sangat berjasa dalam memerdekan bangsa Indonesia ini, sampai penjajah Inggris, Portugis, Belanda, dan Jepang harus meninggalkan bumi Indonesia tercinta ini. Tapi, mengapa kini makin banyak ulama dan banyak pula orang pintar justru bangsa ini masih terpuruk? Semua ini bersumber dari hati yang kotor. Kotor oleh apa-apa yang diharamkan Allah swt, di mana kehidupannya cenderung mengikuti syetan dan menghalalkan segala cara.

Namun, pada jaman yang serba menghalalkan segala cara hanya untuk mengejar kepentingan sesaat di dunia ini, kita diharapkan optimis bahwa masih ada ulama dan orang pintar serta generasi-generasi muda bangsa ini yang memiliki hati yang bersih. Berikut petikan wawancara Sufi dengan Mursyid Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN), yang juga pengasuh Pesantren Attaqwa Pasuruan, Jatim. KH. M. Aly Bahruddin, 4 Desember 2003 lalu di Cabean, Kraton Pasuruan, Jawa Timur.

Mengapa waro’ menjadi penting ?
Waro’ itu akan menjadikan hati orang yang beriman jadi bersih dan jernih. Kejernihan itu disebabkan dirinya selalu berusaha menghindari terhadap apa-apa yang diharamkan oleh Allah swt. Baik untuk perut, seksualitas, maupun panca indera. Bahkan para ulama dan kiai dahulu selalu menjauhi yang syubhat (tidak jelas status kehalalan dan keharamannya). Dengan kehati-hatian, kesabaran, komitmen, dan ketakwaannya kepada Allah maka ilmunya tidak saja bermanfaat bagi dirinya, tapi juga berguna bagi seluruh umat, bangsa dan negara.

Waro’ itu ada tiga macam: Pertama, waro’ al-adli yang disebut juga waro’ al-ihsan adalah menjaga diri dari yang diharamkan Allah baik untuk isi perut maupun seksual. Kedua, waro’ al-iman, selalu berusaha menghindari-menjauhi makanan yang diharamkan Allah, dan Ketiga, waro’ al-takwa, selalu berusaha menghindari-menjauhi kemaksiatan yang bisa dilakukan oleh mata, telinga, mulut, hidung (panca indera), menjaga diri dari sesuatu yang dibenci Allah dan RasulNya (makruh), menghindari yang syubhat dan menjaga diri dari lupa Allah, selalu ingat Allah.

Hanya ulama yang mencapai waro’ tersebut ?
Siapa saja bisa. Orang awam bisa. Karena berperilaku waro’ tersebut tidak tergantung kepada kepintaran dan kepandaian seseorang, melainkan berdasarkan kepada kebersihan hati. Justru banyak orang pintar tapi keberadaannya merusak umat, rakyat, dan menghancurkan negara. Jadi kepintaran seseorang tidak menjamin mereka bersikap waro’.

Kebersihan hati yang dimaksud ?
Hati itu menjadi bersih dan jernih karena bertakwa, beramal saleh, berakhlak mulia, menghindari yang syubhat apalagi yang diharamkandan Allah swt. Dan yang terpenting lagi semua itu karena orang yang beriman selalu berzikir kepada Allah dengan kalimat tauhid: “Laailaha Illalloh”.
Sedangkan untuk mengetahui bagaimana berzikir yang benar, KH. M. Aly Bahruddin dengan tegas menyatakan itu harus bertarekat. Harus berguru kepada ulama tarekat (mursyid). Sebab, tanpa bertarekat di mana tarekat tersebut memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad SAW, maka tidak bisa berzikir dan bertarekat dengan benar. Dengan bertarekat, ibarat bertani maka seorang petani harus mengetahui ilmunya bertani dan setelah panen bisa memasarkannya dengan baik. Dengan demikian, maka pertaniannya tidak sia-sia alias mubazir.

Apalagi Allah swt dalam Al-Quran sudah menyerukan agar orang-orang yang beriman mengikuti Nabi Muhammad SAW, karena pada diri beliau terdapat tauladan-contoh yang terbaik (laqodkaana lakum fii rasulillahi uswatun hasanah). Artinya, jalan kehidupan di dunia dan akhirat harus mengikuti jalan yang ditunjukkan Rasulullah SAW. Sejauh itu Nabi SAW masih diperintah oleh Allah untuk membaca Al-Quran surat al-‘Alaq (Iqra’ bismirabbikallazi khalaq…).

Jadi, Nabi SAW masih berzikir dan bertarekat sebagaimana diajarkan Malaikat Jibril. Bahkan untuk membersihkan hatinya, beliau di-Isra’ Mikraj-kan dengan kalimat Tauhid (Laailaha Illalloh) di Gua Hira’ selama 6 bulan. Setelah hatinya bersih lalu diisi dengan ilmu sehingga ilmunya bermanfaat bagi diri Rasulullah SAW dan seluruh umat manusia di dunia. Karenanya, ilmu yang masuk melalui hati yang kotor maka ilmunya tidak bermanfaat, sebaliknya membawa kerusakan bagi diri dan masyarakatnya.

Allah tidak menjamin kebersihan hati orang pintar?
Tidak. Sebab, perilaku sombong (takabbur), cenderung monopoli, egois, dan ambisius itu biasanya dilakukan oleh orang yang merasa pintar, orang kaya dan orang pangkat. Untuk itu cara membersihkan hati tersebut hanya dengan jalan berzikir secara istiqomah kepada Allah Swt dan istiqomah pula untuk menjauhi, menghindari terhadap apa-apa yang diharamkan Allah Swt.
Berzikir itu paling besar pahalanya di sisi Allah Swt. Bahkan dengan membaca kalimat Laailaha Illalloh dengan tulus ikhlas untuk niat bertobat kepadaNya, dosa-dosanya akan diampuni termasuk dosa dari perbuatan syirik (sebagai dosa terbesar di sisi Allah). Dan sekali lagi, untuk berzikir yang benar harus bertarekat ke guru yang mempunyai silsilah sampai ke Nabi Muhammad Saw.

Selain itu kepintaran manusia di sisi Allah sangat kecil dan terbatas. Seperti diuraikan dalam Al-Quran, Luqman; 34:”Innalloha ‘indahu ilmus sa’ah wayunazzilul ghaitsa waya’lamumaa fil arhaami wamaa tadry nafsiyun maa zaa taksibu ghodaa wamaa tadry nafsun bi-ayyi ardhin tamuutu innallooha ‘alimun khobir—Sesungguhnya hanya pada sisi Allah sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim (kandungan). Dan tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui (secara pasti) terhadap apa-apa yang akan diusahakannya besok hari. Dan tidak ada seorangpun di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Pernah suatu saat Nabi Daud didatangi Malaikat Ijrail dan malaikat itu berkata bahwa si A itu akan meninggal dunia enam hari lagi. Tapi, setelah enam hari itu ternyata si A tidak meninggal. Untung kata Nabi Daud, beliau tidak bilang sama si A bahwa dirinya akan meninggal enam hari lagi. Padahal, menurut catatan Allah Swt memang seperti yang disampaikan Malaikat Ijrail tersebut. Tapi, karena si A sebelum kematiannya bersilaturrahmi kepada kerabat dan teman-temannya, maka Allah memperpanjang umur si A tersebut selama dua puluh (20) tahun lagi. Maksudnya nabi dan malaikat Allah saja ilmunya terbatas, apalagi manusia.

Bahkan kata Rasulullah karena pentingnya kebersihan hati tersebut, beliau berpesan kepada ummatnya: “Al-fuqaha-u mana-urrusul maa lam yadhuluu fiddunnya walaa tattabi’uus syulthon faiza fa’aluu zalika fahdaruuhum—para ulama ahli fiqih itu dipercaya Rasul (selama mereka tidak terlibat pemerintahan), jika terlibat pemerintahan maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR. Imam Ali). Jadi, untuk menghindari yang haram dan syubhat demi kebersihan hati, ulama yang terlibat politik pun tidak boleh diikuti, terlebih hanya orang pandai.

Sampai-sampai beliau berpesan; dari Nu’man bin Yasir, Nabi SAW bersabda:”Innal halalan bayyinun walharomu bayyinun wabaynahuma musytabihatun laaya’lamuuna katsirun minannas famanittaqos syubuhaati faqodis tabro’a lidynihi wa’irdhihi waman waqo’a fissyubuhaati waqo’a filharomi, kalro’i yar’aa haulalhima yuusyika anyaqo’a fiihi al-awa inna likulli maaliki himaa. Al-awa inna filjasadi mudlghotan izaa sholahat sholahal jasadu kulluhu waizaa fasadat fasadal jasadu kulluhu al-awa hia al-qolbu—Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya adalah syubhat, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Maka barang siapa menjaga dirinya dari syubhat, sungguh ia bersih dalam agamanya dan kehormatannya, dan barang siapa yang jatuh pada syubhat niscaya ia jatuh pada yang haram…ingatlah bahwa tempat terlarang Allah itu ialah perkara-perkara yang diharamkan. Ingatlah bahwa dalam tiap-tiap badan itu ada sepotong daging, bila sepotong daging itu baik, maka baiklah seluruh badan dan bila sepotong daging itu rusak, maka rusaklah seluruh badan, dan ingatlah bahwa sepotong daging itu adalah hati.”(muttafaq alaih)

Jadi dengan berzikir?
Benar. Sebab zikir itu obat bagi hati seseorang (syifa’ul qulub- Inna likulli syai-in shiqolatal qolbi zakarolloha afdholudzzikro laailaha illalloh-likulli daa-in syifaa-un wasyifaulquluubi laailaha illalloh---bahwa zikir dengan kalimat laailaha illalloh itu merupakan obat untuk membersihkan hati orang yang beriman).

Baik zikir yang dilakukan di tempat tertutup maupun terbuka. Dan hanya Allah yang mengetahui apakah zikir seseorang itu sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepadaNya atau hanya berpura-pura yang ini disebut sebagai orang munafiq. Sebagaimana Allah jelaskan dalam Al-Quran, Annisa’; 142:”Innal munaafiquuna yukhodi’uunalloha wahua khodi’uhum waizaa qomuu ila sholati qomuu kusaala yuro’uunan naasa walaa yazkuruunalloha illa qolilan—Sesungguhnya orang-orang munafiq itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka (pura-pura mengaku beriman pada Allah) dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan salat. Mereka bermaksud riya’ (mencari pujian manusia dan popularitas) bukan untuk mencari ridho Allah, dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit”.
Tags: islam
Prev: Menghilangkan Penyakit Hati
Next: Dan Makam Rosulullahpun Rata Dengan Tanah ---->> Naudzubillah

Tidak ada komentar: